Saturday, June 11, 2011

BJ. HABBIBIE

Presiden ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936. Beliau merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini Puspowardojo. Habibie yang menikah dengan Hasri Ainun Habibie pada tanggal 12 Mei 1962 ini dikaruniai dua orang putra yaitu Ilham Akbar dan Thareq Kemal.

Masa kecil Habibie dilalui bersama saudara-saudaranya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak. Habibie yang punya kegemaran menunggang kuda ini, harus kehilangan bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena serangan jantung. Tak lama setelah bapaknya meninggal, Habibie pindah ke Bandung untuk menuntut ilmu di Gouvernments Middlebare School. Di SMA, beliau mulai tampak menonjol prestasinya, terutama dalam pelajaran-pelajaran eksakta. Habibie menjadi sosok favorit di sekolahnya.

Setelah tamat SMA di bandung tahun 1954, beliau masuk Universitas Indonesia di Bandung (Sekarang ITB). Beliau mendapat gelar Diploma dari Technische Hochschule, Jerman tahun 1960 yang kemudian mendapatkan gekar Doktor dari tempat yang sama tahun 1965. Habibie menikah tahun 1962, dan dikaruniai dua orang anak. Tahun 1967, menjadi Profesor kehormatan (Guru Besar) pada Institut Teknologi Bandung.

Langkah-langkah Habibie banyak dikagumi, penuh kontroversi, banyak pengagum namun tak sedikit pula yang tak sependapat dengannya. Setiap kali, peraih penghargaan bergengsi Theodore van Karman Award, itu kembali dari “habitat”-nya Jerman, beliau selalu menjadi berita. Habibie hanya setahun kuliah di ITB Bandung, 10 tahun kuliah hingga meraih gelar doktor konstruksi pesawat terbang di Jerman dengan predikat Summa Cum laude. Lalu bekerja di industri pesawat terbang terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi panggilan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia.

Di Indonesia, Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT, memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis, dipilih MPR menjadi Wakil Presiden RI, dan disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto. Soeharto menyerahkan jabatan presiden itu kepada Habibie berdasarkan Pasal 8 UUD 1945. Sampai akhirnya Habibie dipaksa pula lengser akibat refrendum Timor Timur yang memilih merdeka. Pidato Pertanggungjawabannya ditolak MPR RI. Beliau pun kembali menjadi warga negara biasa, kembali pula hijrah bermukim ke Jerman.

Sebagian Karya beliau dalam menghitung dan mendesain beberapa proyek pembuatan pesawat terbang :

* VTOL ( Vertical Take Off & Landing ) Pesawat Angkut DO-31.
* Pesawat Angkut Militer TRANSALL C-130.
* Hansa Jet 320 ( Pesawat Eksekutif ).
* Airbus A-300 ( untuk 300 penumpang )
* CN - 235
* N-250
* dan secara tidak langsung turut berpartisipasi dalam menghitung dan mendesain:
· Helikopter BO-105.
· Multi Role Combat Aircraft (MRCA).
· Beberapa proyek rudal dan satelit.

Sebagian Tanda Jasa/Kehormatannya :

* 1976 - 1998 Direktur Utama PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara/ IPTN.
* 1978 - 1998 Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
* Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi / BPPT
* 1978 - 1998 Direktur Utama PT. PAL Indonesia (Persero).
* 1978 - 1998 Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam/ Opdip Batam.
* 1980 - 1998 Ketua Tim Pengembangan Industri Pertahanan Keamanan (Keppres No. 40, 1980)
* 1983 - 1998 Direktur Utama, PT Pindad (Persero).
* 1988 - 1998 Wakil Ketua Dewan Pembina Industri Strategis.
* 1989 - 1998 Ketua Badan Pengelola Industri Strategis/ BPIS.
* 1990 - 1998 Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-lndonesia/lCMI.
* 1993 Koordinator Presidium Harian, Dewan Pembina Golkar.
* 10 Maret - 20 Mei 1998 Wakil Presiden Republik Indonesia
* 21 Mei 1998 - Oktober 1999 Presiden Republik Indonesia

ref : http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id
http://www.e-smartschool.com/
Read more »

Thursday, June 9, 2011

SUKSES DI USIA MUDA

Untuk meraih kesuksesan dalam berkarier tak perlu harus menunggu sampai tua. Dalam usia yang relatif muda pintu untuk mencapai kesuksesan dalam berkarier sangat terbuka. Malah puncak karier tertinggi seharusnya dicapai ketika usia masih relatif muda, karena tenaga masih prima, pemikiran cemerlang, dan vitalitas yang tinggi.
Setiap zaman pun mencatatkan sejumlah tokoh yang berhasil mencapai puncak kesuksesan ketika usianya masih muda. Sebut saja Alexander Agung, Napoleon Bonaparte yang menyatukan Eropa dan melebarkan kekuasaan ke penjuru dunia. Dari tanah air pun ada Hayam Wuruk Raja Majapahit yang menyatukan nusantara, Bung Karno yang berjuang menentang penjajahan Belanda sejak muda, Panglima Jenderal Sudirman, dan AH Nasution yang memimpin Kodam III/Siliwangi ketika berumur 27 tahun.

Di era modern seperti sekarang, lebih banyak lagi tokoh muda yang berhasil mencapai sukses. Bill Gates yang mendirikan Microsoft ketika masih duduk di bangku kuliah. Mark Zuckerberg berhasil meraih ratusan juta dolar dari perusahaannya yang fenomena Facebook Inc saat baru berusia 23 tahun, dan Barack Obama yang menjadi Presiden Amerika Serikat ketika berusia 44 tahun.

Dalam buku baru ini penulis mengajak kita jangan percaya lagi dengan jargon yang mengatakan bahwa kesuksesan hanya bisa dicapai ketika usia sudah dewasa dan matang. Sebab, ternyata usia tak sebanding lurus dengan kematangan dan kemandirian seseorang. Usia hanya sebagai tanda kapan seseorang dilahirkan dan berapa lama dia hidup di dunia ini. Bukan berapa banyak prestasi yang telah dicapai, dan tidak menentukan kesuksesan kariernya.

Meski jalan yang ditempuh untuk meraih sukses pada usia muda tidak mudah, tapi jalan menuju ke sana selalu terbentang luas. Seperti pepatah, dalam perjalanan menu sukses hanya ada dirimu dan dunia. Bila dirimu memiliki hasrat yang kuat, maka dunia pun akan menyambutnya. Apabila dirimu pesimistis, seketika itu pula dunia telah berlari meninggalkanmu.

Dalam buku Young on Top karya Billy Boen, dibentangkan berbagai rahasia meraih sukses di usia muda. Penulis yang berhasil meraih gelar S-2 dan mencapai karier gemilang sebagai General Manajer pada usia 26 , memberikan 30 rahasia mencapai sukses dalam buku setebal 245 halaman dan diterbitan GagasMedia.

Secara garis besar buku ini meringkas 30 rahasia sukses dalam tiga bagian penting dalam meraih sukses berkarier. Bagian pertama menjelaskan pentingnya membangun motivasi, keyakinan, dan optimisme dalam diri. Bagian kedua mengembangkan kemampuan diri untuk menguasai secara detail bidang pekerjaan yang digeluti. Bagian ketiga adalah pentingnya mengembangkan sikap tidak mau berpuas diri, selalu mengeksplorasi kemampuan, dan tetap rendah hati serta bijaksana.

Dengan gaya penuturan yang tertata apik melalui buku terbarunya, Billy Boen menyakinkan bahwa ketiga bagian penting tersebut bisa diterapkan siapa saja, dan yang penting tanpa harus menunggu usia menjadi tua. Malah dalam usia yang relatif muda, nilai-nilai tersebut lebih mudah dijalankan dan prosesnya semakin cepat. Bak pohon bambu yang lentur, ketika menghadapi terpaan angin tak akan pernah patah. Sebaliknya, tetap bertahan dengan melengkungkan batangnya menyeimbangkan arah angin.

Buku ini cocok bagi para wirausaha muda, eksekutif muda, mahasiswa yang ingin mengembangkan karier. Bagi eksekutif yang sudah mapan pun, patut membaca buku ini untuk menambah keyakinan bahwa karier yang Anda capai sudah on the right track. Karena sejatinya tak ada batas usia untuk mencapai sukses dan tak ada batas umur untuk terus mau belajar.

Di Ambil dari berbagai sumber




Read more »

Thursday, January 6, 2011

Berguru pada Al-Ghazali dalam Membangun Peradaban

Al-Ghazali telah mencontohkan, 'bagaimana pengembangan ilmu itu berkait erat dengan perkembangan Peradaban Islam'
PERADABAN Islam terbangun dan tegak berbasiskan ilmu pengetahuan. Ini sejalan dengan peran ilmu itu sendiri, yaitu sebagai prasyarat untuk menguasai dunia akhirat sekaligus. Karena nilai penting ini, selain kata-kata derivatifnya, dalam al-Qur'an terdapat 91 ayat yang mengandung kata-kata 'ilm, 67 ayat diwahyukan di Makkah, sisanya (24 ayat) di Madinah. Maka, jika saat ini umat Islam mundur, tentu karena terjadi krisis ilmu. Sehingga, tepat jika usaha membangun kembali peradaban Islam yang sudah nyaris lumpuh ini adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan Islam.

Imam al-Ghazali telah dengan baik mencontohkan kepada kita 'bagaimana pengembangan ilmu itu berkait erat dengan perkembangan Peradaban Islam'. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath Thusi Abu Hamid al-Ghazali. Beliau biasa dipanggil Abu Hamid. Sedangkan gelarnya adalah Hujjatul Islam dan Zianuddin. Bahkan, Ibn 'Asakir melihat beliau sebagai mujaddid (pembaharu) Islam abad ke-5 Hijriah (baca: Ta'rif al-Ahya' bi Fada'il al-Ihya', Hamisy Ihya' 'Ulum al-Din, jilid 1). Beliau dilahirkan di Thabrani, sebuah Desa di Thusi Khurasan (450-505 H/1058-1111M).

Imam al-Ghazali dan Perang Salib

Imam al-Ghazali adalah seorang tokoh pemikir muslim yang hidup pada bagian akhir dari zaman keemasan Islam di bawah khilafah Abbasiah yang berpusat di Baghdad. Kala itu, situasi politik dan ilmiah sedang mengalami krisis, baik karena motivasi ideologis maupun etnis dan ambisi duniawi. Di sisi lain, kekuatan Kristen Eropa merupakan ancaman serius, yang pada akhirnya terjadi perang Salib pertama, yaitu pada tahun 1095 (baca: Kitab al-'Ibar wa Daiwan al-Mubtada' wa al-Khabar). Pada 50 tahun pertama, pasukan Salib mendominasi peperangan. Sebagian jantung negeri Islam, seperti Syiria dan Palestina ditaklukkan.

Selama perang Salib tersebut, banyak kalangan yang mempertanyakan peran al-Ghazali. Namun, seiring dengan terbitnya kitab al-Jihad karya Ali al-Sulami, imam di masjid Ummayyad, Damaskus, dan tokoh perumus dan penggerak jihad melawan tentara Salib, peran al-Ghazali mulai terkuak. Bahkan, sebagaimana yang akan penulis jelaskan di bawah, peran beliau begitu penting dan menentukan dalam kemenangan yang dicapai oleh kaum muslimin setelah itu.

Upaya mendasar Al-Ghazali

Pada babak pertama perang Salib yang dimenangkan pihak musuh (tentara Salib), kondisi moral umat Islam begitu parah. Hal itu terjadi karena gaya hidup mewah pada kalangan elit, fanatisme mazhab (ashabiyah) yang parah, dan kerusakan pemikiran (baca: Ibn Katsir dalam Hakazha Zhahara Jaylu Shalahuddin wa Hakazha 'Adat al-Quds). Maka tidak heran jika pada saat itu, seruan ulama kepada umat muslim untuk berjihad tidak mendapat tanggapan positif.

Kondisi yang demikian menjadi perhatian serius al-Ghazali. Kajian terhadap kitab Ihya' Ulumuddin mengantarkan al-Kilani pada satu keyakinan bahwa kitab tersebut sengaja dipersiapkan al-Ghazali untuk menata kembali moral dan intelektual umat Islam kala itu. Jadi, yang al-Ghazali fikirkan tidak sekedar masalah perang Salib belaka, tapi masalah mendasar umat (moral dan keilmuan). Seruan ulama saat itu yang tidak diindahkan oleh umat Islam cukuplah menjadi bukti apa yang al-Sulami sampaikan dalam kitab al-Jihad benar adanya, yaitu bahwa memerangi pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan jihad melawan hawa nafsu.

Yang mendasar dan utama yang dilakukan para ulama seperti Al-Ghazali dalam menyembuhkan penyakit umat adalah dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud, dan jihad. Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Ini masalah penting, karena itu, beliau mengawali pembahasan Kitab Ihya' Ulumiddin dengan bab tentang ilmu (Kitabul Ilmi).

Ini menarik. Sebab, al-Ghazali ternyata memulai penanganan krisis yang terjadi di kalangan umat Islam pada saat itu 'langsung kepada sumbernya', yaitu hati/aqal. Hal ini sangat sesuai dengan pesan baginda Rasulullah saw, "Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat mudghah. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah al-qalb." (HR. Muslim).

Mengenali Ulama

Ada dua perkara yang ditinggalkan Nabi saw untuk umatnya, yaitu al-Qur'an dan al-Sunnah. Siapa yang berpegang teguh kepadanya, maka tidak akan tersesat selamanya. Namun kenyataannya, tidak semua orang bisa memahami dua hal ini dengan baik. Karena itu, di samping keduanya, Rasulullah saw juga mewariskan para ulama, sebagaimana sabda beliau, "Sesungguhnya ulama adalah ahli waris Nabi, para Nabi tidaklah mewariskan emas dan perak, yang mereka wariskan adalah ilmu. Barang siapa mengambil warisannya maka ia mendapat keuntungan yang sempurna." (HR. Ibu Majah dalam Ibn Hajar al-Qalany, Fath al-Bary, juz 1). Peran penting ulama juga terungkap dari Hadits Nabi saw:“Bandingannya para ulama di bumi ini samalah seperti bintang-bintang di langit. Ia dijadikan pedoman dalam kegelapan di laut dan di darat. Kalau bintang-bintang itu pudar, mereka yang berpandukannya nyaris sesat” (Riwayat Imam Ahmad).

Hadits-hadits ini secara tegas menggambarkan hubungan erat antara peran ulama dengan ilmu. Para ulama inilah yang akan meneruskan misi kenabian, yakni amar ma'ruf nahi munkar. Bagi al-Ghazali, aktivitas amar ma'ruf nahi munkar ini adalah kutub terbesar dalam urusan agama. Karena itu, ia sangat penting. Jika ia tidak ada, maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, masyarakat bodoh, kesesatan tersebar, bahkan satu negeri akan binasa. Ini telah Allah swt nyatakan secara jelas dalam QS. Al-Maidah: 78-79. Bahkan, tidak adanya amar ma'ruf nahi munkar dapat menyebabkan binasanya seluruh kaum, sebagaimana sabda Rasulullah saw: "Tidaklah dari satu kaum berbuat maksiat, dan di antara mereka ada orang yang mampu untuk melawannya, tetapi dia tidak berbuat itu, melainkan hampir-hampir Allah meratakan mereka dengan azab dari sisi-Nya." (HR. Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah).

Melihat penjelasan ini, kita tidak bisa serta merta melabel seseorang yang karena telah melalui jenjang pendidikan tertentu sebagai seorang 'alim (ulama). Untuk bisa memetakan hal ini, alangkah baiknya melihat apa yang disampaikan oleh Al-Khalil bin Ahmad: "Arrijaalu arba'ah: Rajulun yadrii wa yadrii an-nahu yadrii fadzalika 'alimun fas-aluhu, wa ra julun yadrii wa laa yadrii an-nahu yadrii fadzalika naasin fa dzakkiruhu, wa rajulun laa yadrii wa yadrii an-nahuu laa-yaddri fa dzalika mustarsyidun fa-arsyiduhu, wa rajulun la yadrii wa laa yadriii an-nahuu laa yadrii fa dzalika jaahilun farfudhuhu." (Baca: Imam al-Mawardi dalam Adab ad-Dunya wa ad-Diin: 86).

Demikianlah, orang alim itu adalah orang yang tahu dan ia tahu bahwa dirinya tahu. Orang ini paham apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan. Tidak sekedar itu, ia juga tahu hak-hak ilmu, kemudian menunaikannya. Artinya, walaupun seseorang itu sudah menempuh jenjang pendidikan tertentu, namun ia belum dikatakan sebagai seorang 'alim kecuali setelah mengamalkan ilmunya. Hal ini telah diungkapkan juga oleh Ali ibn Abi Thalib, "innamal alim man amila bima alima." Ini karena tujuan utama ilmu adalah untuk diamalkan. Dan amal itu sendiri harus dilandasi oleh ilmu. Atau dengan kata lain, orang alim itu hanya mengamalkan apa yang diilmuinya.

Berikutnya, orang alim itu tidak akan merasa puas dengan ilmu yang diketahuinya. Justru ia akan merasa perlu untuk belajar dan terus belajar. Dalam hal ini, Abdullah bin Mubarak berkata, "seseorang tetap dikatakan alim selagi ia terus menuntut ilmu. Jika ia menyangka ilmunya telah cukup, maka sesungguhnya dia masih bodoh."

Dan dalam sejarah, kita tahu, Imam Ahmad yang telah hafal satu juta Hadits (menurut ar-Razi), tidak pernah lepas dari pena dan tinta. Saat beliau ditanya oleh seseorang, "sampai kapankah Anda membawa tinta?" Beliau menjawab, "membawa tinta sampai ke kubur". Di sini, sungguh beliau bertekad mencari ilmu hingga ajal menjemput. Sebuah proses pendidikan yang tuula az-zaman.

Di masa hidupnya, al-Ghazali menunjukkan kepeduliannya kepada terbentuknya generasi ulama ini. Lebih dari itu, beliau bahkan memberikan keteladanan hidup. Ilmu yang tinggi dan peluang mendapatkan hidup mewah tidak menjadikannya lupa. Beliau justru memilih mendirikan pesantren di Thus, kampungnya sendiri. Tempatnya mengabdikan diri membina dan mempersiapkan kader-kader umat (ulama). Dari upaya ulama kala itu, seperti yang al-Ghazali lakukan inilah lahir satu generasi hebat, generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Jadi, bukan seorang Shalahuddin saja, namun satu generasi Shalahuddin, yang pada 1187 berhasil memimpin pembebasan Kota Suci Jerusalem dari cengkeraman Pasukan Salib.

Hari ini, seiring dengan masuknya ide-ide/nilai-nilai Barat Modern dan Postmodern telah menyebabkan terjadinya pencampuran konsep-konsep Barat dengan konsep-konsep Islam atau masuknya konsep-konsep Barat ke dalam pemikiran Islam. Sehingga, usaha menegakkan bangunan ilmu lebih dimaksudkan pada mengarahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusianya, agar sejalan dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dalam Islam.

Atau dengan kata lain, sejatinya, membangun peradaban Islam bukanlah membangun sarana prasarana fisik yang diberi label Islam, tapi mereorientasikan framework pemikiran umat Islam. Ini juga yang telah al-Ghazali contohkan. Dimana beliau dengan gigih dan cerdas telah meluruskan cara berfikir para filosof kala itu dalam bukunya 'Tahafut Falsafah'.

Melihat uraian di atas, jika hari ini banyak pihak yang mengeluhkan kualitas para akademisi muslim, harusnya kita berkaca pada diri sendiri, apakah selama ini kita telah punya perhatian khusus menyiapkan kader-kader umat yang unggul. Silakan diteliti, apakah ada satu perguruan tinggi Islam yang bisa diharapkan untuk menyiapkan kader umat semacam itu? Jika belum ada, harusnya kita mulai dari sekarang untuk menyiapkannya.
Oleh: Asmu'i*
Penulis adalah alumni ke-II Program Kaderisasi Ulama (PKU) Gontor Ponorogo '09. Sedang menyelesaikan Program Pascasarjana di Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Pemikiran Islam.
Read more »